[tentang] Hukum Facebook

Facebook, salah satu situs jejaring sosial atau sering dikenal juga sebagai situs pertemanan, yang kini popularitasnya jauh melambung mengungguli situs-situs sejenisnya. Di Indonesia sendiri, awalnya situs jejaring sejenis, sempat dipegang kendali oleh friendster. Secara tiba-tiba facebook dalam waktu singkat pun "mampu" menumbangkan popularitas friendster yang kemudian dengan cepat ditinggalkan para penggunanya, entah karena fitur2 yang lebih menarik ataupun sekedar trend setter kalangan netter yang membuat facebook menjadi idola diantara situs jejaring lain. klik disini untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah facebook.

Mungkin topik panas seputar kontroversi "haram" yang dilabelkan pada facebook sudah mulai mereda, dan entah kontribusi dari kontroversi itu atau bukan, para netter pengguna facebook justru semakin "membludak". Hampir tak ada satupun kepala yang ngga ngenal facebook, berbagai profesi, berbagai umur. Mulai dari menggunakannya sebagai penggerak masa, ladang dakwah hingga cuma sekedar ajang mengembangkan "sayap" pergaulan.
Saya sendiri termasuk salah satu pengguna facebook, yang awalnya memang saya niatkan untuk menjalin silaturahmi dengan teman dan orang-orang baru. Namun keraguan muncul, ketika sempat ramai pula mengenai "cap" bahwa facebook adalah produk yahudi dan sebagainya, sebagai orang awam yang [sekali lagi] berusaha agar ke-awam-an saya tidak kemudian menjerumuskan saya kedalam kesalahan, maka saya lagi-lagi mencoba mencari sumber-sumber yang insyaallah mampu memberikan pencerahan tentang facebook dan segala kontroversinya ini. Sebenarnya bukan hanya facebook obyeknya, friendster, twitter, plurk,my space [ouh..saya hampir hafal] dan segala hal lainnya yang sejenis dengan itu pun, akan membuat kita kemudian nyaman untuk kemudian memutuskan "tetap" menggunakannya ataupun "segera" menghentikannya, tentu saja dengan pemahaman insyaallah.
Ok ..tanpa banyak basa-basi lagi [padal uda banyak basa-basinya;)], langsung kita masuk ke "medan" pembahasan mengenai hukum menggunakan facebook [khususnya].

Untuk bisa meng"hukum"i sesuatu, maka para ulama dari hasil penelitian Al Qur’an dan As Sunnah, membuat dua kaedah ushul fiqih yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Hukum asal untuk perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah disyari’atkan sampai Allah dan Rasul-Nya mensyari’atkan.

Artinya, hukum asal setiap perkara ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyariatkannya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang memerintahkan atau menganjurkan suatu amalan yang tidak ditunjukkan oleh Al Qur’an dan hadits, maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam beragama (bid’ah). Amalan yang dilakukan oleh orang semacam ini pun tertolak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

2. hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.

Artinya, berkebalikan dengan kaidah yang pertama, untuk perkara ‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Dalil untuk kaedah kedua ini adalah firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al Baqarah: 29).

Maksudnya, adalah Allah menciptakan segala yang ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan. Itu berarti diperbolehkan selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak mendatangkan bahaya.

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 32).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingkari siapa saja yang mengharamkan makanan, minuman, pakaian, dan semacamnya.
Jadi, jika ada yang menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa hukumnya? Maka jawabannya adalah “tahu” itu halal dan diperbolehkan. Jika ada yang menanyakan lagi mengenai hukum minuman “Coca-cola”? Apa hukumnya? Maka jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan. Begitu pula jika ada yang menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa hukumnya? Jawabannya adalah halal dan diperbolehkan. Jadi, untuk perkara non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Makan bangkai menjadi haram, karena dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, begitu juga daging babi. Begitu pula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan karena ada dalil yang menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk perkara non ibadah adalah halal dan diperbolehkan.
Oleh karena itu, jika merujuk pada 2 kaidah fiqh diaatas, maka hukum asal facebook adalah sama sebagaimana handphone, email, blog, internet, radio, dan alat-alat teknologi lainnya yaitu sama-sama mubah dan diperbolehkan.
Tapi tunggu dulu jangan berhenti sampai disini, masih ada penjelasan selanjutnya mengenai hukum mubah yang barusan aja disematkan kepada si facebook merujuk pada 2 kaidah dasar ushul fiqih diatas. Jadi jangan merasa aman sampai pada tahap ini [duhh bahasanya :)]

Penjelasan mengenai hukum mubah diatas, berhubungan dengan Hukum Sarana sama dengan Hukum Tujuan, nah maksutnya apa lagi nih *sama saya juga nanya,nah mari kita baca sama2 kelanjutannya :)*

Perkara mubah (yang dibolehkan) itu ada 2 macam.
1. Perkara mubah yang dibolehkan dilihat dari dzatnya
2. Perkara mubah yang menjadi wasilah (perantara) kepada sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang dilarang.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- mengatakan,
“Perkara mubah dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk dilakukan. Namun, perkara mubah itu dapat pula mengantarkan kepada hal-hal yang baik maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula mengantarkan pada hal yang jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang dilarang.Inilah landasan yang harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan (al wasa-il laha hukmul maqhosid).”

Jadi maksud perkataan beliau di atas adalah:
Apabila perkara mubah tersebut mengantarkan pada kebaikan, maka perkara mubah tersebut diperintahkan, baik dengan perintah yang wajib atau pun yang sunnah. Orang yang melakukan mubah seperti ini akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya [subhanallah].
Misalnya : Tidur adalah suatu hal yang mubah. Namun, jika tidur itu bisa membantu dalam melakukan ketaatan pada Allah atau bisa membantu dalam mencari rizki, maka tidur tersebut menjadi mustahab (dianjurkan/disunnahkan) dan akan diberi ganjaran jika diniatkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah.

Begitu pula jika perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yang dilarang, maka hukumnya pun menjadi terlarang, baik dengan larangan haram maupun makruh.Misalnya : Terlarang menjual barang yang sebenarnya mubah namun nantinya akan digunakan untuk maksiat. Seperti menjual anggur untuk dijadikan khomr. Contoh lainnya adalah makan dan minum dari yang thoyib(baik) dan mubah, namun secara berlebihan sampai merusak sistem pencernaan, maka ini sebaiknya ditinggalkan (makruh).

Bersenda gurau[bahasa indonesia] atau guyon[bahasa jawa] juga asalnya adalah mubah. Sebagian ulama mengatakan, “Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak.” Jadi, jika guyon tersebut sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang. [astaghfirullohhal adzim].

Oleh karena itu, jika sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana (perantara) menuju tujuan tadi akan memiliki hukum yang sama. Perantara pada sesuatu yang diperintahkan, maka perantara tersebut diperintahkan. Begitu pula perantara pada sesuatu yang dilarang, maka perantara tersebut dilarang pula. Misalnya tujuan tersebut wajib, maka sarana yang mengantarkan kepada yang wajib ini ikut menjadi wajib. [bingung yah ? sama :p], nah contohnya nih ya : Menunaikan shalat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan berjalan ke tempat shalat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka karena tujuan tadi wajib, maka wasilah di sini juga ikut menjadi wajib. Ini berlaku untuk perkara sunnah dan seterusnya. [hmmm...waduh saya ko ga ngeh ya bagian ini, bukannya berjalan ke masjid itu hanya sunnah, nah kalo wajib, berarti dosa kalo gajalan kaki,,,waduhh kok malah debat sendiri sayahT_T ]... hmmm...ada yg bs menjelaskan lagi kah ?[duhh ketauan bisanya kopas ajah :)]

well, cukup dengan sedikit kebingungan saya, moga kebingungan ini tidak diamini sama pembaca yang lain yah [duhh berasa dibaca oleh seluruh rakyat indonesia nih :), amin]. Kembali kita lanjutkan...

Jadi intinya, hukum facebook adalah tergantung pemanfaatannya[sekali lagi karena dalam hal ini objek kita adalah facebook, tetapi aspek pemanfaatan ini bisa digunakan secara general,artinya segala hal tergantung pemanfaatannya]. Kalau pemanfaatannya adalah untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, maka facebook pun bernilai sia-sia dan hanya membuang-buang waktu. Begitu pula jika facebook digunakan untuk perkara yang haram, maka hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua termasuk dalam kaedah “al wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama dengan hukum tujuan). Nah kemudian ternyata kaedah ini pun bisa diturunkan (diderivasi)menjadi beberapa kaidah lagi, yaitu:

1. Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)

2. Maa laa yatimmul masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yang sunnah yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)

3. Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram)

4. Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh)

Dari keempat kaidah turunan diatas, maka kasus facebook ini bisa kita pecahkan [bahasanya coba:)]
dengan melihat kaidah nomer 3,yang intinya [lagi-lagi] jika facebook digunakan untuk yang haram dan sia-sia, maka facebook menjadi haram dan terlarang.

Hal yang haram itu seperti apa, misal: menggunakan facebook untuk melakukan hubungan gelap di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan jenis yang diajak berhubungan bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh, banyak terjadi perselingkuhan karena kasus semacam ini. Jika memang facebook banyak digunakan untuk tujuan-tujuan seperti ini, maka sungguh kami katakan, “Hukum facebook sebagaimana hukum pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk yang haram, maka facebook pun menjadi haram.”

Dilain sisi ketika kita melihat bagaimana penggunaan waktu kita terkait dengan facebook, maka akan kita jumpai banyaknya kesia-siaan disana [astaghfirullohaladzim, duhh Allah mohon petunjukmu].

Kebanyakan orang [termasuk saya] betah berjam-jam di depan facebook, bisa sampai 5 jam bahkan seharian, namun mereka begitu tidak betah di depan Al Qur’an dan majelis ilmu. Terkait dengan waktu, nasehat ulama berikut insyaallah mampu menggugah kita kembali sadar tentang makna waktu dan hidup.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,
“Aku pernah bersama dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”

Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas,
“Kemudian orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain: Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).” (Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”
Ingatlah … kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu.


Ibnul Qayyim mengatakan perkataan selanjutnya yang sangat menyentuh qolbu,

“Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109).

Nauzubillahi min dzalik, mudah-mudahan kita tidak tergolong kepada golongan yang menyia2kan waktu,amin.

Nah Selanjutnya, ketika kemudian kita tidak ingin bahwa pemanfaatan facebook kita justru menghantarkan kita kepada sesuatu yang dimurkai Allah, maka solusi atas itu adalah [tentu saja] Marilah Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah

Inilah pemanfaatan yang paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk dakwah. Betapa banyak orang yang senang dikirimi pesan nasehat agama yang dibaca di inbox, note atau melalui link mereka. Banyak yang sadar dan kembali kepada jalan kebenaran karena membaca nasehat-nasehat tersebut.
Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain apalagi dalam masalah agama yang dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ“

Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)

Dari Abu Mas’ud Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaraanmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah (harta yang paling berharga orang Arab saat itu).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Subhanallah, bagaimana jika tulisan kita dalam note, status, atau link di facebook dibaca oleh 5, 1o bahkan ratusan orang, lalu mereka amalkan, betapa banyak pahala yang kita peroleh. Jadi, facebook jika dimanfaatkan untuk dakwah semacam ini, sungguh akan sangat bermanfaat.

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk memanfaatkan waktu dengan baik, dalam hal-hal yang bermanfaat.
Aminn ya robbal alamin...

Banyak hal yang insyaallah telah kita dapatkan dari penjelasan diatas, selanjutnya adalah kembali kepada diri kita, untuk kemudian mengamalkan apa yang telah kita ketahui, karena insyaallah ibadah atau amal apapun yang kita lakukan dengan pemahaman akan membawa azzam (tekad) yang lebih kuat dalam pelaksanaannya.

materi diambil dari sini

~karena sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat pada orang lain~


2 comments:



Anonymous said...

Jelas ada banyak tahu tentang hal ini. Saya pikir Anda membuat beberapa poin baik di Fitur juga. Tetap bekerja, pekerjaan yang besar!

Anonymous said...

Terima kasih untuk menyimpulkan itu begitu baik. Saya pikir saya akan kembali di sini sering. Best Regards.